Sinopsis Novel “Merah Putih di
Old Trafford
Novel ini
menceritakan tentang perjalanan hidup seorang anak yang bernama Hanif Abdurrauf
Sjahbandi yang semasa kecilnya selalu berkeliaran kesana-kemari menyusuri
setiap ruangan yang ada dirumahnya, bagaikan tornado mungil yang tidak mau
diam. Untuk mengatasi tingkahlaku Hanif, ayahnya yang beranama bapak Rony
mengajaknya kesebuah arena bermain anak dikawasan pondok indah. Sesampainya
disana, arena bermain tersebut sudah ramai sekali dengan tawa riang anak-anak dan
para orang tua yang mengawasinya. Berbagai fasilitas permainan anak-anak ada
disana, tetapi permainan yang paling menyedot perhatian Hanif hanyalah wahana
mandi bola. Tanpa menunggu ayahnya ia langsung berlari menuju lautan bola. Ia
merasa begitu senang dan nyaman dengan permainan tersebut, sehingga tidak
menghiraukan anak-anak dan orang dewasa yang ada disekelilingnya.
Sejam berlalu dan hanif masih saja asyik bermain, ketika
ayahnya mengajaknya untuk pulang Hanif hanya tertawa-tawa dan tidak menanggapi
ajakan ayahnya itu. Ketika pak Rony mulai jenuh karena ajakannya tidak
ditanggapi sedikitpun, tiba-tiba pak Rony menemukan sebuah ide untuk mengajak
Hanif membeli sebuah bola. Ternyata ide tersebut berjalalan sempurna, Hanif
langsung menanggapi ajakan ayahnya untuk membeli sebuah bola. Kemudian, pak
Rony segera membawa Hanif untuk membeli sebuah bola sepak.
Siapa sangka bahwa
inisiatif pak Rony untuk membelikan Hanif sebuah bola sepak menimbulkan
perubahan bagi keluarganya, khususnya Hanif. Rumahnya kini terasa lenggang karena
tidak terlihat lagi tornado mungil yang berputar-putar menyusuri setiap
ruangan. Setiap hari kaki kecil Hanif menggiring bola yang telah dibeli bersama
ayahnya itu dan sesekali dibantingnya kererumputan lalu dilemparkannya kedinding.
Sama seperti ketika berada ia berada diwahana mandi bola, fokusnya seolah
tersedot, sampai-sampai lapar yang ia rasakan sam sekali tidak dihiraukannya.
Ketika Hanif sudah menjadi
seorang siswa TK Al-Marjan, ia sangat ngotot tidak mau diantar jemput oleh
mobil sekolah, tetapi ia lebih memilih berjalan kaki, meskipun punggungnya
harus menggendong ransel dan tangannya bergantian menjinjing meja gambar, ia
tetap semangat. Setiap hari ia berjalan sendiri melawan arah menuju rumah,
matanya selalu menatap apa saja yang
menarik pandangannya, termasuk sebuah tutup botol didekat telapak kakinya.
Tanpa meminta persetujuan siapapun dan tidak ragu sedikitpun, Hanif lalu
menendang tutup botol dengan satu kakinya, lalu menggiringnya dengan kedua
kakinya secara bergantian.
Ketika suatu hari Hanif
mengikuti pertandingan sepakbola antar TK sekecamatan di komplek jati asih.
Ibunya yang bernama bu Tia merasa gelisah, ia ingin menyaksikan Hanif yang
sedang bertanding sepakbola. Seperti biasa, Hanif begitu antusias ketika bersinggungan
dengan bola, bahkan ketika ayah dan ibunya belum datang untuk menonton
penampilannya. Dalam pertandingan pertamanya ini, ia belum mengenal yang
namanya peratuaran bermain sepakbola, ia hanya tahu bola itu wajib ditendang
kesebuah gawang, tak peduli gawang siapapun.
Ketika Hanif menendang
bola kegawangnya sendiri, alias melakukan gol bunuh diri, ia tidak terpekur
seperti para pemain bola dilapangan hijau, tetapi sebaliknya ia malah bersorak
riang gembira. Tawa pun meledak dari para guru,
penonton dan juga kedua orangtuanya yang baru datang. Semuanya geli
melihat Hanif yang sudah berusaha mati-matian menggocek bola, bangkit ketika
dijegal lawan, berkelit dengan gesit untuk menggapai kemenangan tetapi akhirnya
malah memasukan bola kegawang sendiri. Ayahnya yang melihat kejadian itu
langsung memanggil Hanif dan memberitahunya tentang peraturan permainan
sepakbola. Hanif mencamkan kata-kata ayahnya tentang peraturan itu kedalam
ingatannya, lalu mengangguk-angguk mengerti dan langsung kembali kelapangan.
Setelah masuk kembali kelapangan Hanif langsung mendapatkan bola umpan dari
temannya, yang kemudian langsung digiringnya untuk menerobos pertahanan lawan.
Tak lama kemudian, ia berhadapan dengan kiper yang berteriak-teriak panik.
Hanif tidak mau berlama-lama, ia segera menendang bola dengan sekuat tenaganya
kearah gawang dan bola mengelinding pelan masuk kesebelah kiri kaki penjaga
gawang. Gol yang sah itu membuat Hanif melompat tinggi kegirangan, dan para penontonpun bersorak dan
memberikan semangat pada Hanif.
Setelah permainan selesai,
dengan ditemani ayah dan ibunya, Hanif menerima hadiah dan sebuah piala
berbentuk replika bola dari pertandingan sepakbola pertamanya itu.
Beberapa tahun berlalu,
Hanif kini tumbuh menjadi murid SD yang semakin menggilai bola. Kecintaannya
pada sepakbola membuatnya semakin tidak tertarik dengan kegiatan olahraga
lainnya, termasuk les renang yang diikutinya. Setiap pergi ketempat les renang
yang tak jauh dari rumahnya, ia selali bermalas-malasan, sampai-sampai ibunya kewalahan
sendiri. Sementara, pak Rony semakin tidak tahu perkembangan Hanif karena ia
sibuk dengan perusahaannya.
Bakat dan semangat yang
dimiliki Hanif akhirnya membuahkan hasil. Di SD Al-Azhar 9 Kemang Pertama,
Bekasi, seorang laki-laki terpana melihat Hanif bermain sepakbola bersama
teman-temannya. Nama lelaki itu adalah pak Slamet, ia adalah guru yang
membimbing kegiatan ekstrakulikuler sepakbola di SD tersebut. Dari sekian
banyak muridnya, hanya Hanif yang mampu menyita perhatiannya.
Sesaat, pak Slamet
celingukan mencari sesuatu, lalu didapatinya bu Tia yang duduk agak jauh dari
lapangan, Kemudian pak Slamet menghampirinya disela-sela pertandingan. Ia
bermaksud untuk memberitahu kepada bu Tia tentang bakat yang dimiliki Hanif.
Setelah mengobrol dengan bu Tia, ia akhirnya mengusulkan supaya Hanif
dimasukkan ke sekolah sepakbola. Setelah mendengar hal itu bu Tia menanggapinya
dengan merenung dan mengangguk-angguk.
Pada malam harinya, bu Tia
menyampaikan saran pak Slamet dan rencananya untuk mencarikan Hanif sekolah
sepakbola kepada pak Rony. Tanpa diduga, rencana itu disambut dengan tentangan
keras pak Rony.
Sementara, lambat laun
usaha milik pak Rony mulai meningkat. Akhirnya bu Tia dan anak-anaknya
memurtuskan untuk berkunjung keperusahaan suaminya itu yang ada di Bitung.
Setelah sampai di kota Bitung, Hanif dan keluarganya berkeliling kota Bitung.
Di tengah perjalanan pak Rony bertanya pada Hanif, apakah dia benar-benar
serius untuk menjajaki olahraga sepakbola, lalu Hanif menanggapinya dengan baik
sambil menganggukkan kepalanya. Setelah melihat reaksi dari Hanif, pak Rony
langsung menyuruh bu Tia untuk mencarikan sekolah sepakbola untuk Hanif,
mendengar hal itu bu Tia langsung menanggapinya dengan terkejut.
Setelah pulang dari Bitung, dengan persetujuan pak Rony
bu Tia langsung mencarikan sekolah sepakbola untuk Hanif. Bu Tia memilih
sekolah sepakbola berstandar internasional yang berada dikawasan Cikunir.
Sekolah sepakbola yang dipilih bu Tia adalah ASA (Asian Soccer Academy), karena
menurut bu Tia, Hanif tidak sekedar mendapat pembelajaran sepakbola, tetapi ia
akan mendapatkan lebih dari itu, seperti membangun kesadaran perbedaan bahasa
dan warna kulit, serta menimbulka rasa percaya diri sebelum ia berlaga dan
merumput dinegara lain selain Indonesia.
Tibalah hari pertama Hanif untuk berlatih di ASA.
Anak-anak berbeda bangsa bergerumul memperebutkan satu bola. Mereka bekerjasama
dalam merebut, mempertahankan, membagi dan memasukan bola kedalam gawang. Jika
bahasa terasa sulit diucapkan, isyarat teriak dan gerak badanpun sudah cukup
untuk membuat mereka saling mengerti satu sama lainnya.
Untuk mendukung Hanif yang berlatih sepakbola dengan
giat, pak Rony bermaksud untuk mengajak dan membelikan sepatu sepak bola baru
untuk Hanif. Setelah tiba ditoko sepatu, Hanif langsung memilih dan mencoba
berbagai macam sepatu sepakbola yang pas dan nyaman untuk dikenakan dikedua
kakinya. Setengah jam berlalu, Hanif masih juga belum menemukan sepatu yang pas
dan nyaman untuk kedua kakinya itu. Ketika ayahnya menyuruhnya untuk segera
memilih, Hanif melihat sepatu yang menarik perhatiannya, tanpa berpikir lama
Hanif langsung mengambil dan mencoba sepatu itu. Setelah ia mencoba mengenakan
sepatu itu, ia merasakan kakinya begitu hangat dan nyaman.
Suatu hari, seorang staf ASA mengumumkan bahwa akan ada
sebuah eksibisi turnamen soccer academy yang akan diadakan di Bangkok,
Thailand. Pak Rony bertanya kepada Hanif, apakah ia siap berangkat ke Bangkok,
Hanif menjawab bahwa ia siap tetapi dengan kurang bersemangat. Pak Rony langsung
bertanya mengapa Hanif tidak bersemngat seperti biasanya. Ternyata, penyebabnya
karena beberapa orang temannya yang mendapatkan beasiswa tidak bisa berangkat
dengannya. Supaya bisa ikut ke Bangkok mereka yang mendapat beasiswa harus
memiliki keterangan tidak mampu. Pak Rony tidak habis pikir dengan perlakuan
berbau diskriminasi ini. Ia terus merenungkan keberhasilan karier Hanif dan
juga merenungkan kata-kata salah seorang orangtua murid yang menyarankan Hanif
untuk memasuki klub bola lokal atau mempunyai klub sendiri.
Beberapa hari kemudian, renungan-renungan itupun berbuah
sebuah keputusan untuk mengeluarkan Hanif dari ASA dan membentuk klub sendiri.
Pak Rony mulai merenung untuk memikirkan klub yang akan dibangunnya. Ia memuta
semua ingatan permainan Hanif dilapangan, Hanif selalu bermain dengan dua
sentuhan. Yang pertama, jika bola mendekat Hanif selalu menyentuhnya sekali
untuk menghentikan bola dan satu sentuhan lagi untuk mengumpan kepada kawannya.
Dari gaya bermain itulah pak Rony memberi nama klubnya dengan nama two touch
yang memiliki moto skill and emotional, tujuannya adalah membangun kemampuan
dan emosi yang stabil dalam kerjasama tim sepakbola.
Selanjutnya, kepengurusan dibentuk. Pak Rony menawari pak
Triyoni, orang yang sudah memberikan usul itu untuk menjabat sebagai ketua dan
wakilnya pak Rony sendiri. Bu Tia mendapatkan amanah sekretaris dan masalah
keuangan menjadi tanggung jawab bu Susi, istri pak Triyoni sebagai bendahara.
Sementara pak Slamet, orang yang pertama menemukan bakat Hanif didaulat menjadi
kepala sekolah serta memberikan pendekatan dan pelatiha dari sisi emosional.
Dan sebagai pelatihnya adalah pak Harry Tjong
yang pernah melatih ASA. Pak Rony mendapat informasi bahwa karena
permasalahan pribadi dan persoalan idealisme, pak Harry mundur dari ASA.
Selanjutnya surat pemberitahuan atas berdirinya Two Touch Academy Football
sudah disiapkan untuk dikirim kepada pihak PSSI pusat dan Pengcab PSSI Jakarta
Timur.
Dalam kompetisi perdana TwoTouch, untuk mengikuti final
Danone Nations Cup 2008 di Prancis, tim Two Touc mengalami kekalahan. Pupuslah
sudah harapan bertemu Zidane dan bermain di Prancis. Setelah pertandingan itu,
Two Touch terus saja mengikuti berbagai kompetisi untuk melatih pengalaman dan
skill mereka.
Ditengah perjalanan Two Touch dalam mengikuti berbagai
kompetisi, tiba-tiba Hanif meminta izin ayahnya untuk mengikuti seleksi Timnas
U-13. Dengan seizin ayahnya, ia mengikuti tes seleksi tersebut, ternyata
usahanya tidak sia-sia, ia terpilih untuk ikut bermain bersama Timnas U-13 pada
ajang AFC U-13 Festival Of Football di Malaysia.
Hanif mulai berlatih bersama anggota Timnas U-13 lainnya.
Ketika latihan hari terakhir selesai, Hanif segera pulang untuk mempersiapkan
barang-barang yang akan dibawanya terbang ke Malaysia bersama Timnas U-13.
Semangatnya membuncah, tetapi semangat itu luntur ketika malam tiba. Hanif
merasa ada yang aneh dengan badannya, lalu Hanif segera menyampaikannya kepada
orang tuanya. Setelah mendengar apa yang dirasakan Hanif, pak Rony langsung
bergegas membawanya kedokter.
Keesokan harinya Hanif tetap saja ngotot berangkat ke
Malaysia bersama anggota Timnas U-13 lainnya, dengan terpaksa kedua orangtuanya
mengizinkan Hanif untuk berangkat. Setelah sampai di Malaysia, pak Rony
langsung menelpon Hanif untuk mengontrol keadaannya. Pada hari pertama Hanif
tidak bisa ikut latihan bersama teman lainnya.
Ketika Hanif pulih, fisiknya tangguh kembali. Ia siap
menjadi bek bagi Timnas Indonesia. Tim merah putih bertempur habis-habisan,
sehingga gelar juara pun didapatkan. Setelah pulang membela Timnas U-13, Hanif
selalu memperhatikan ayahnnya yang beberapa hari kedepan selalu duduk didepan
layar komputer. Ternyata pak Rony berniat untuk mendaftarkan Hanif pada
training camp di Manchester United selama liburan sekolah, lalu dengan
bersemangat Hanif menanggapinya.
Tujuh bulan berselang, Hanif dan keluarganya bersiap
berangkat kekota Manchester, Inggris. Setelah tiba dikota Manchester, Hanif dan
keluarganya langsung pergi menuju ke Denston College, tempat Hanif mengikuti training
camp. Setelah tiba di Denston College Hanif langsung beristirahat untuk
persiapan latihan pada keesokan harinya.
Hari latihan pun tiba, Hanif mulai berlatih bersama
dengan anak-anak lain dari berbagai negara. Setiap hari Hanif selalu berlatih
dengan semangat, walaupun latihannya digelar selama 3 kali dalam 1 hari, yang
tentunya memerlukan energi banyak untuk mengikutinya. Setelah hari terakhir
latihan tiba, seluruh peserta bergegas menuju lapangan untuk mendengarkan
pengumuman siswa yang menjadi best player. Hanif pun terpilih bersama dengan
kim dari korea, dari dua orang tersebut akan diseleksi kembali untuk mengikuti
world skill finals. Mereka berdua harus bersaing dalm seleksi skill long pass.
Peraturannya setiap peserta diberi 3 kali kesempatan menendang bola untuk
mengenai targer orang-orangan yang berada pada jarak 30 meter dari titik yang
telah ditentukan. Kim mendapatkan giliran pertama, ternyata dari 3 kali
kesempatan yang diberikan ia tidak mampu mengenai target orang-orangan
tersebut. Tetapi Hanif yang mendapat giliran terakhir berhasil mengenai target
orang-orangan pada kesempatan tendangan yang terakhir. Hanif langsung bersorak
gembira dan disambut dengan tepuk tangan orang-orang, dengan demikian Hanif
terpilih untuk mengikuti world skill finals mendatang.
Keesokan harinya Hanif dan keluarganya mulai berpamitan
pada peserta lainnya dan bersiap untuk pulang ke Jakarta. Sesampainya di
Jakarta, setiap hari Hanif selalu giat berlatih untuk persiapan world skill
finals mendatang.
Dua hari sebelum world skill finals digelar, Hanif
bersama keluarganya langsung berangkat menuju bandara Internasional Machester.
Setelah tiba disana, Hanif dan keluarganya langsung menuju ke hotel primer inn
yang sudah disiapkan bagi peserta world skill finals beserata pendampingnya.
Pada hari berikutnya Hanif dan peserta lainnya segera
bersiap untuk berlatih. Sebelum latihan dimulai mereka diajak kesebuah bangunan
besar yang sangat tertutup disebuah kawasan perbukitan asridan sejuk di wilayah
Carrington, Manchester. Bangunan ini diberi nama Trafford Training Centre atau
sering disingkat TTC, yang merupakan tempat latihan para pemain Manchester
United. Ditempat ini Hanif bersama dengan peserta lainnya diberi pengarahan.
Dan setelah selesai diberi pengarahan mereka diajak ke sebuah rungan tertutup
khusus akademi dan pemain. Setelah mereka sampai didepan pintu ruangan
tersebut, mereka diberi kertas berisi foto-foto para pemain MU, setelah semua
mendapatkannya, mereka langsung berbaris mengantre untuk masuk kepintu ruangan
tersebut. Tak lama kemudian pintu dibuka secara perlahan dan mereka langsung
disambut para pemain Manchester United yang selama ini hanya dilihat Hanif
melalui televisi. Mereka mengantre dengan tertib dan menyodorkan kertas foto
yng dipegang masing-masing peserta untuk ditandatangani langsung oleh setiap
pemain Manchester United.
Setelah acara itu berakhir, sehari penuh Hanif diberi
Coaching Clinic oleh Solskjaer dan Rene Meulensteen, asisten pelatih Alex
Ferguson. Skill Hanif terus diuji dengan melakukan long pass, short pass,
shooting, dribling dan sebagainya. Selama 2 hari penuh Hanif diberi coaching
clinic, kemudian setelah selesai latihan hari kedua, semua peserta dan
pendampingnya diundang untuk hadir ke stadion Old Trafford untuk menyaksikan
pertandingan antara Manchester United melawan Blackburn Rovers dan sekaligus
untuk mengumumkan pemenang world skill finals 2009.
Setelah tiba di stadion seluruh peserta diperintahkan
untuk berbaris disebuah pintu masuk lapangan. Merakapun langsung berbaris dan
mulai berjalan menuju lapangan, setelah mereka tiba dilapangan, suara tepuk
tangan bergemuruh dari setiap sudut di Old Trafford. Dan tibalah saat
pengumuman pemenang world skill finals, Hanif berusaha untuk tetap tenang. Dan
akhirnya yang keluar sebagai pemenang world skill finals 2009 adalah anak
berusia 11 tahun yang bernama Amor Gauti Brynjolfsson. Ia mendapatkan sebuah
piala berbentuk prisai prajurit kerajaan berwarna coklat.
Setelah mendengar hasil pemenang world skill finals 2009
dan selesai menonton pertandingan antara Manchester United melawan Blackburn
Rovers, keesokan harinya Hanif mulai berkemas dan mengucapkan salam perpisahan
kepada setiap peserta lainnya. Sebelum meninggalkan Manchester, Hanif meminta
waktu kepada kedua orangtuanya unyuk kembali mengunjungi stadion Old Trafford.
Dengan izin kedua orangtuanya itu, Hanif ditemani keluarganya kembali
berkunjung ke Old Trafford. Setelah tiba di Old Trafford, Hanif berjalan menuju
kepintu utama Old Trafford, ia kembali menatap dan mengagumi kemegahan stadion
Old Trafford. Ia bermimpi suatu saat nanti akan bermain di klub-klub sebesar
Manchester United.